KRAKATAU.ID — Setiap manusia dilahirkan dengan mimpi. Ia tumbuh dalam pikiran anak-anak, diperkuat oleh pendidikan, dan diuji oleh kehidupan. Namun, semakin dewasa seseorang, semakin jauh pula mimpi itu terasa dari jangkauan. Di negeri ini, mimpi sering kali dipaksa berkompromi dengan sistem yang kaku, tekanan sosial yang berat, dan realitas ekonomi yang tidak ramah bagi mereka yang berani berharap lebih dari sekadar bertahan hidup.
Pendidikan, yang idealnya menjadi jembatan antara harapan dan kenyataan, justru kerap menjadi alat pembunuh mimpi yang paling sistematis. Kurikulum yang terlalu padat, budaya nilai dan ranking, serta sistem seleksi yang seragam menciptakan generasi yang lebih sibuk memenuhi standar dibanding menemukan potensi diri. Anak-anak diarahkan untuk berprestasi, bukan bermimpi. Mereka dibentuk menjadi penghafal, bukan pemikir. Ruang untuk mempertanyakan arah hidup digantikan oleh tuntutan untuk menyelesaikan soal dalam waktu terbatas.
Ketika mereka lulus, dunia kerja menanti bukan sebagai ruang aktualisasi diri, tapi sebagai medan kompromi. Pekerjaan menjadi alat untuk bertahan, bukan lagi ruang untuk tumbuh. Mimpi yang dulu besar dan penuh warna, perlahan memudar di balik rutinitas, target bulanan, dan tagihan yang terus datang. Sistem sosial bahkan memandang mimpi dengan sinis. Ia dianggap terlalu idealis, tidak realistis, dan lebih cocok jadi bahan pidato atau caption media sosial ketimbang tujuan hidup.
Namun, sejarah dan kehidupan tidak pernah berpihak pada mereka yang menyerah. Dunia ini dibentuk oleh orang-orang yang berani bertahan pada mimpinya, meskipun ditertawakan, dijatuhkan, dan berkali-kali gagal. Mereka yang percaya bahwa jalan yang sulit bukanlah alasan untuk berhenti berjalan. Keteguhan dalam bermimpi bukan romantisme murahan, melainkan pilihan yang rasional—karena tanpa mimpi, manusia hanyalah mesin yang bekerja, hidup tanpa arah, dan mati tanpa warisan nilai.
Tentu, kita tidak bisa menutup mata bahwa akses terhadap mimpi tidak merata. Latar belakang ekonomi, lingkungan sosial, dan keberuntungan memainkan peran besar. Tetapi justru karena itulah keteguhan mimpi menjadi penting. Bagi mereka yang lahir dari keterbatasan, mimpi bukan sekadar cita-cita, tapi perlawanan terhadap nasib.
Negara semestinya hadir bukan untuk menertibkan mimpi, tapi untuk membukakan jalannya. Pendidikan harus memberi ruang untuk eksplorasi, bukan sekadar evaluasi. Dunia kerja harus mulai menghargai kreativitas dan nilai kemanusiaan, bukan sekadar produktivitas. Dan masyarakat harus berhenti mencibir mereka yang memilih jalan berbeda demi mengejar mimpinya.
Dalam hidup yang makin kompleks, mimpi harus diperjuangkan dengan realisme. Ia tidak harus cepat, tidak harus sempurna, dan tidak harus besar. Tapi ia harus dirawat, ditenagai oleh keyakinan dan kesabaran. Karena seperti api kecil yang terus dijaga, mimpi bisa menjadi cahaya yang menuntun seseorang melewati kegelapan hidup.
Mereka yang berhasil bukanlah yang paling pintar, paling kuat, atau paling beruntung. Tapi mereka yang paling teguh.
Oleh : Fernando Aldi Marcos,S.Pd, Ketua Bidang Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi Pemuda Katolik Komisariat Cabang Bandar Lampung