Oleh: Fernando Aldi Marcos (Ketua Bidang Kaderisasi dan Organisasi Pemuda Katolik Komcab Bandar Lampung)
KRAKATAU.ID — Kasus dugaan korupsi proyek perluasan jaringan pipa Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kabupaten Pesawaran membuka lagi luka lama dalam tata kelola pemerintahan daerah,dimana proyek publik yang mestinya menjadi wujud pelayanan, justru berubah menjadi ladang keuntungan pribadi. Mantan Bupati Pesawaran, Dendi Ramadhona, kini ditetapkan sebagai tersangka. Nilai proyek mencapai Rp8,2 miliar, dengan kerugian negara ditaksir lebih dari Rp7 miliar. Angka itu bukan sekadar statistik hukum tetapi di baliknya ada hak masyarakat atas air bersih yang hilang, dan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang terkikis.
Kita harus berani bertanya: apakah proyek SPAM ini sejak awal benar-benar dimaksudkan untuk melayani rakyat, atau hanya dirancang sebagai proyek formalitas agar dana pusat bisa “turun”? Fakta bahwa pelaksana proyek digeser dari Dinas Perkim ke Dinas PUPR, dan adanya perubahan rencana tanpa transparansi, menimbulkan dugaan kuat bahwa sejak awal tata kelolanya sudah diselewengkan. Inilah penyakit klasik pemerintahan daerah: proyek yang diklaim demi kesejahteraan rakyat, tapi dalam praktiknya hanya menjadi sarana memperkaya diri dan kroni. Akibatnya, air yang seharusnya mengalir ke rumah warga justru berhenti di rekening pribadi para pelaku.
Kasus ini menyingkap wajah asli birokrasi daerah yang masih jauh dari prinsip akuntabilitas. Pergeseran kewenangan antar dinas, perubahan dokumen perencanaan, dan lemahnya fungsi pengawasan adalah gejala dari sistem yang lebih dalam, sistem yang memelihara ketertutupan dan membiarkan pelanggaran terjadi diam-diam.
Tidak bisa lagi kita memaklumi alasan klasik “kelalaian administratif”. Di balik setiap “kesalahan teknis” biasanya ada keputusan politis. Ketika pengawasan internal tidak berfungsi dan DPRD hanya menjadi stempel formal, korupsi bukan lagi insiden tetapi sudah menjadi pola kerja.
Penetapan tersangka terhadap mantan bupati memang langkah maju, namun terlalu sering penegakan hukum datang setelah proyek selesai dan uang raib. Pertanyaannya: di mana fungsi pengawasan inspektorat daerah? Di mana peran Kementerian Dalam Negeri dan lembaga keuangan daerah yang seharusnya mengaudit penggunaan DAK secara berkala?
Kita tidak bisa berharap perubahan hanya lewat jerat hukum setelah kerugian terjadi. Yang dibutuhkan adalah reformasi sistemik,memperkuat mekanisme pencegahan dan transparansi sejak perencanaan. Tanpa itu, setiap pergantian kepala daerah hanya akan melahirkan pola penyimpangan yang sama dalam wajah baru.
Korupsi daerah sering dianggap masalah lokal, padahal banyak berakar dari sistem pusat yang longgar. Dana Alokasi Khusus (DAK) mengalir dari pusat ke daerah tanpa sistem pemantauan real time. Pemerintah pusat cepat mencairkan, tetapi lambat mengawasi. Akibatnya, proyek daerah hanya menjadi alat politik dan sumber rente baru.
Kasus di Pesawaran seharusnya menjadi cermin bagi seluruh daerah bahwa desentralisasi bukan berarti kebebasan tanpa tanggung jawab. Pemerintah pusat tak boleh sekadar menyalurkan dana; ia harus memastikan setiap rupiah benar-benar mengalir ke layanan publik, bukan ke rekening pejabat.
Kasus SPAM Pesawaran bukan hanya tentang korupsi uang negara, tetapi juga tentang kegagalan moral birokrasi. Air yang seharusnya menjadi simbol kehidupan justru berubah menjadi lambang kerakusan.
Selama jabatan publik masih dipandang sebagai peluang, bukan amanah, maka air bersih akan terus mengalir ke rumah orang berkuasa, sementara rakyat tetap menampung janji dalam ember kosong.
Inilah waktunya pemerintah berhenti menambal kebocoran dengan janji. Yang harus dibersihkan bukan hanya pipa airnya, tetapi juga sistem dan nurani yang telah keruh terlalu lama.***






