Oleh: Fernando Aldi Marcos, S.Pd.
Ketua Bidang Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi Pemuda Katolik Komisariat Cabang Bandar Lampung
KRAKATAU.ID — Di negara yang mengklaim diri sebagai pelopor demokrasi modern, pemerintahan bisa lumpuh hanya karena para politisinya gagal bersepakat soal anggaran. Itulah yang terjadi di Amerika Serikat, ketika pemerintah federal menghentikan sebagian operasionalnya lantaran Kongres tak kunjung menyetujui rancangan anggaran. Ribuan pegawai negeri dirumahkan, layanan publik terganggu, dan mimpi buruk bernama pemutusan hubungan kerja mengintai mereka yang selama ini berada di garda terdepan birokrasi.
Masalahnya bukan terletak pada kas negara, bukan pula karena ekonomi Amerika sedang runtuh. Ini murni soal tarik-menarik kepentingan politik yang menjadikan anggaran negara sebagai alat tawar. Partai Republik dan Partai Demokrat saling menyandera. Yang menjadi korban adalah rakyat dan para aparatur sipil yang semestinya berada di zona netral dari manuver kekuasaan.
Di Indonesia, berita ini mungkin sekilas tampak jauh. Namun, jika ditilik lebih dalam, ia menyimpan cermin besar bagi sistem demokrasi di mana pun. Bahwa tak ada jaminan negara akan terus bekerja jika politik tak dikelola dengan akal sehat. Bahwa birokrasi pun bisa dijadikan tumbal dalam konflik elite.
Shutdown seperti ini memang bukan hal baru di AS. Namun setiap kali terjadi, ia memperlihatkan lubang besar dalam sistem anggaran mereka: absennya mekanisme darurat yang menjamin kesinambungan pelayanan publik ketika parlemen buntu. Inilah ironi dari negara yang menjadi panutan tata kelola—roda pemerintahan mereka bisa berhenti hanya karena Kongres tidak sepakat soal pembiayaan imigrasi atau subsidi.
Pelajaran penting untuk Indonesia adalah bahwa kita tidak bisa meremehkan stabilitas politik dalam proses anggaran. Sistem kita memang tidak mengenal shutdown seperti di AS karena APBN disahkan melalui mekanisme yang lebih terkunci. Namun, konflik anggaran antara legislatif dan eksekutif bisa saja terjadi dan dapat melumpuhkan jika tidak ada etika kolektif untuk mengutamakan kepentingan publik.
Lebih dari itu, kita harus belajar memproteksi aparatur negara dari volatilitas politik. Pegawai negeri bukan pion dalam permainan kekuasaan. Mereka digaji negara untuk memastikan bahwa pelayanan dasar tetap berjalan bahkan ketika para elite berdebat tentang arah kebijakan. Jika mereka mulai dikorbankan, maka kepercayaan publik terhadap negara bisa runtuh.
Krisis politik di negara kuat seperti Amerika menunjukkan bahwa demokrasi bukan sekadar soal institusi, tetapi juga soal karakter dan tanggung jawab para pemimpinnya. Tanpa kedewasaan politik, bahkan sistem yang paling mapan pun bisa macet. Birokrasi bisa lumpuh. Dan rakyat dibiarkan menunggu—tanpa layanan, tanpa kepastian, tanpa negara.***






