KRAKATAU.ID, LAMPUNG SELATAN — Di bawah langit Desa Sidodadi Asri, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, angin bukan sekadar hembusan alam biasa. Ia adalah napas semangat, yang mengangkat mimpi-mimpi pemuda Kulon Rowo setinggi-tingginya—bersama ekor panjang Layang-layang Naga yang menjulang hingga 150 meter.
Di sinilah cerita itu bermula. Dari tangan-tangan kreatif anak muda kampung, lahirlah sebuah karya yang tidak hanya besar secara ukuran, tetapi juga besar dalam makna: Layang-layang Naga.
“Kita dari Tim Pekor, Pemuda Kulon Rowo, cuma ingin sedikit mengenalkan kreativitas Layang-layang Naga,” ujar Edi, salah satu tokoh muda dari Dusun Kulon Rowo, saat ditemui Krakatau.id, Minggu, 21 September 2025. Di sampingnya, Anton—rekan satu timnya—tersenyum bangga, mengiyakan setiap kata.
Bukan baru kemarin sore Layang-layang Naga ini hadir. Proses panjang dan penuh dedikasi telah mereka jalani bertahun-tahun. Dari mulai perencanaan, pembuatan kerangka, pemasangan kulit layangan, hingga pengecatan detail naga yang rumit—semuanya dilakukan secara gotong-royong oleh tim yang terdiri dari 25 sampai 30 orang pemuda.
“Untuk satu layangan bisa habis 20 sampai 25 juta, itu baru bagian kepalanya,” ungkap Anton.
“Dan semua itu murni dari swadaya. Enggak ada sponsor. Ini murni inisiatif dan iuran dari anak-anak muda sini,” tandasnya.
Bagi mereka, Layangan Naga bukan sekadar hobi atau hiburan sore. Ia adalah simbol kebersamaan, identitas kampung, dan juga media untuk menyalurkan kreativitas yang selama ini mungkin terpinggirkan oleh hiruk-pikuk pembangunan kota.
Tak hanya indah dipandang, Layangan Naga buatan Tim Pekor juga telah menjelma menjadi bintang di berbagai festival dan kontes. Prestasi demi prestasi berhasil mereka torehkan. Dari juara satu kontes Layangan Naga di Sanggoro Tim Lampung Timur, hingga kemenangan terakhir mereka dalam Kalianda Kite Festival, peringatan HUT Kabupaten Lampung Selatan ke-67 tahun 2023.
“Pesertanya waktu itu 25 tim. Alhamdulillah, kami bawa pulang juara satu,” kata Anton sambil tersenyum bangga.
“Kalau piala-pialanya mau lihat, boleh kami tunjukkan,” ucapnya.
Layangan Naga bukan mainan sembarangan. Butuh kekuatan fisik dan koordinasi matang untuk menerbangkannya.
“Kalau angin laut, minimal 20 orang yang narik. Kalau angin kampung, bisa 10-15 orang. Tergantung hembusan,” jelas Anton.
Namun tantangan tak hanya datang dari sisi teknis. Cuaca yang tak menentu, hujan berkepanjangan, serta keterbatasan dana membuat aktivitas mereka sempat terhenti dalam beberapa bulan terakhir. Meski begitu, semangat mereka tak pernah benar-benar padam.
“Kunci sukses kami itu kekompakan,” tegas Edi.
“Walau kami banyak yang sudah berkeluarga, tetap menyempatkan waktu. Kita saling support, saling bantu. Enggak ada yang merasa paling penting. Semua kerja bareng,” timpalnya lagi.
Dalam keterbatasan, para pemuda ini terus bertahan. Namun mereka sadar, mimpi besar membutuhkan dukungan yang besar pula. Harapan pun mereka titipkan pada pemerintah.
“Kalau bisa, kami minta tempat khusus untuk event tahunan. Supaya bisa bikin festival besar di Lampung, seperti yang sering diadakan di Jawa,” kata Anton penuh harap.
Layangan Naga bukan hanya tentang menang lomba. Ia adalah wujud dari semangat berkarya, melestarikan tradisi, dan membangun kebersamaan. Sebuah bukti bahwa di pelosok kampung, anak-anak muda masih punya daya cipta, dan hanya perlu satu hal untuk terus terbang lebih tinggi: kesempatan.***






