KRAKATAU.ID, PESAWARAN — Di ketinggian 1.682 meter di atas permukaan laut, di tengah hujan yang mengguyur tanpa ampun, sekelompok pendaki muda terjebak dalam situasi darurat yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Tektokan yang direncanakan untuk mendaki dan turun dalam sehari, berubah menjadi malam panjang penuh perjuangan melawan hipotermia. Mereka bertujuh : Keke, Adnin, Ridho, Irfan, Dinda, Lena, dan Nela tak akan melupakan malam itu.
Krakatau.id berkesempatan mendengar langsung kisah dramatis itu dari empat pendaki yang mengalami kondisi kritis: Keke, Adnin, Dinda dan Lena. Mereka berempat selamat berkat nyala api dari tungku kayu yang menyala semalaman di sebuah gubuk milik Nurohman, pengelola Basecamp Punggung Naga, jalur pendakian Gunung Pesawaran via Desa Pesawaran Indah, Way Ratai.
“Kami duduk umpel-umpelan di emergency, mengelilingi tungku api… semalaman kami menggigil di situ,” ujar Adnin dengan suara lirih saat ditemui Krakatau.id, Senin pagi (15/5/2025).
Dimulai dari Cuaca yang Tak Bersahabat
Tujuh orang dalam rombongan pendaki ini—dua pria dan lima perempuan—berangkat dari basecamp sekitar pukul 10 pagi. Mereka berasal dari latar belakang beragam: dari siswa SMP di Bandarlampung dan Gading Rejo, Pringsewu hingga karyawati di bidang perpajakan.
“Dinda dan Adnin bertemu kami di spot ayunan sebelum pintu rimba,” jelas Nela, salah satu anggota rombongan.
Namun, cuaca tak bersahabat. Hujan deras menyambut mereka di puncak, membuat suhu turun drastis. Bagi Keke, ini adalah pengalaman yang sangat mengejutkan.
“Di atas puncak udah menggigil, kepalaku pusing banget… padahal aku biasa di ruangan ber-AC 18 derajat,” ungkapnya.
Hipotermia Menyerang Saat Turun
Keke menceritakan, Dinda adalah yang pertama mengalami tanda-tanda hipotermia sekitar pukul 17.30 WIB saat menuruni jalur antara puncak Tugu ke Pos 4.
“Dia udah kedinginan, tapi masih bilang gak apa-apa. Padahal wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar,” ucap Adnin.
Situasi makin memburuk setelah malam turun. Keke sendiri akhirnya tidak kuat berjalan dan harus tinggal bersama Adnin dan Lena, sedangkan yang lain turun lebih dulu meminta bantuan.
Di tengah situasi darurat itu, mereka menemukan satu-satunya tempat hangat: gubuk kecil di Basecamp Punggung Naga, tempat Nurohman menyimpan tungku kayu.
Diselamatkan oleh Api dan Kebaikan Sesama Pendaki
“Kayu bakar dan tungku itu penyelamat kami malam itu. Kami nggak bawa pakaian ganti. Jadi benar-benar menggigil sepanjang malam,” kenang Lena.
Tak hanya tungku, para pendaki juga diselamatkan oleh kehangatan solidaritas. Beberapa mahasiswa Universitas Lampung (Unila) yang kebetulan ada di basecamp, ikut menemani dan membantu mereka menghangatkan diri.
“Dua cowok dalam rombongan kami; Irfan, Ridho dan Mbak Nela sangat berjasa dalam penyelamatan kami, mereka naik turun untuk menjempput kami, memapah dari atas sampai basecamp Punggun Naga,” kenang Keke.
“Saling menguatkan, ngobrol, biar gak panik. Yang ngebantu aku namanya Theo,” kata Keke sambil tersenyum kecil.
Pengelola: Baru Pertama Kali Terjadi
Nurohman, pemilik basecamp, mengaku ini adalah insiden pertama sejak jalur pendakian via Punggung Naga dibuka.
“Baru kali ini kejadian seperti ini. Biasanya aman, tapi ya mungkin karena mereka tidak bawa perlengkapan lengkap,” ujarnya saat dikonfirmasi Krakatoa.id, Senin pagi (12/5/2025).
Ia juga menekankan pentingnya edukasi tentang keselamatan dan persiapan mendaki, terlebih saat cuaca tak menentu.
Pelajaran dari Puncak Ratai
Pengalaman para pendaki muda ini jadi pengingat penting bagi semua pegiat alam bebas: bahwa alam tidak bisa diprediksi, dan keselamatan selalu harus jadi prioritas. Tektokan tanpa persiapan yang matang bisa berubah menjadi tragedi.
Beruntung, malam itu di Puncak Ratai, ada tungku dan tangan-tangan yang peduli. Mereka pulang bukan hanya membawa cerita tentang dinginnya puncak, tapi juga hangatnya kemanusiaan.**