KRAKATAU.ID, PESAWARAN — Di tengah rimba yang lebat, di jantung sunyi Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, tersembunyi sebuah nyanyian air yang lirih dan jernih: Sendhang Tirta Loka, air terjun mungil yang lebih mirip doa daripada gemuruh.
Lokasinya bukan di tempat yang biasa dilewati pelancong. Ia memilih berdiam di Dusun Talang Tengah, Desa Way Sabu, Kecamatan Padang Cermin, Pesawaran—sebuah tempat yang hanya disebut dari mulut ke mulut, seakan hendak dijaga agar tak tercemar riuh dunia.
Bagi Pujianto, lelaki berkulit legam dengan rambut yang mulai diserbu uban, air terjun ini bukan sekadar objek alam. Ia adalah sahabat setia, penyembuh luka batin, tempat ia berbicara dengan sunyi.
“Air ini tidak tinggi, sekitar 3–4 meter,” katanya, matanya menatap ke arah rerimbunan, “tapi rasanya seperti mendengarkan kidung dari langit,” ungkap Pakde To, begitu ia akrab disapa saat berbincang dengan Krakatau.id, Sabtu (10/5/2025)
Sendhang Tirta Loka memang tidak menjulang. Ia tidak mengaum seperti air terjun perkasa lainnya. Namun justru dalam kelembutannya, ia menyimpan kuasa penyucian. Di bawah guyurannya terdapat lubuk, tenang dan dalam, tak begitu luas namun cukup untuk menampung segala resah.
“Kalau hati sedang kalut, saya ke sini… bahkan kadang malam-malam. Airnya seperti tangan ibu, menenangkan, memeluk,” lanjut Pakde To.
Tidak banyak yang tahu tentang keberadaan air terjun ini. Orang-orang lebih mengenal Sendang Sari, yang terletak di bawahnya. Tapi mereka yang sabar, yang sudi bertanya dan berjalan kaki menyusuri sungai di hutan belantara, akan menemukan keheningan yang sesungguhnya di atas sana.
Perjalanan ke sini bukan perkara mudah. Dari Bandarlampung, arahkan kendaraan menuju Pantai Klara, lalu belok ke kawasan Yonif 9/Beruang Hitam. Di sanalah petualangan sesungguhnya dimulai. Jalan kecil menyempit, menanjak, menurun, licin di musim hujan dan berdebu kala kemarau. Motor harus tangguh, dan pengendara lebih tangguh lagi. Tapi percayalah, alam tak pernah memberi keindahan secara cuma-cuma.
Begitu tiba di gubuk sederhana milik Pak To, tinggal 20-30 menit berjalan kaki. Langkah kaki akan membawa kita melewati hutan rimba, dan suara burung yang sesekali bersiul dari balik semak. Aroma tanah basah dan dedaunan tua menemani setiap detik perjalanan.
Saat akhirnya sampai, Sendhang Tirta Loka menyambut tanpa suara. Ia hanya mengalir, seperti waktu, seperti sabar. Airnya bening, mengalir pelan dari tebing batu yang dibalut lumut hijau. Ikan-ikan kecil berenang di palung yang tenang—ikan mahseer yang oleh warga disebut ikan cengkak, dan sesekali seekor lele sungai melintas perlahan seperti bayangan.
“Bukan hanya tempat mandi, tapi tempat membersihkan isi kepala dan dada,” ucap Pakde To pelan.
Di era ketika segala sesuatu ingin cepat dan bising, Sendhang Tirta Loka hadir seperti bisikan. Ia tidak mencari perhatian, tidak memaksa untuk dikagumi. Ia hanya ada, seperti puisi yang menunggu untuk dibaca diam-diam, dengan hati terbuka.***