Marcus Budi Santoso: Semangat Persatuan Masih Menyala, Dialog Lintas Iman Butuh Aksi Nyata

KRAKATAU.ID, BANDARLAMPUNG -– Dalam iklim sosial yang masih rentan terhadap isu intoleransi dan perpecahan identitas, pertemuan pemuda lintas iman menjadi angin segar. Salah satu suara penting yang menegaskan hal itu datang dari Marcus Budi Santoso, Sekretaris Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAK) Keuskupan Tanjungkarang, dalam forum Silaturahmi Lintas Pemuda Agama yang digelar Gerakan Pemuda Ansor Lampung, Kamis, 17 April 2025, di Hotel M2 Kriyad, Bandar Lampung.

Marcus menilai kegiatan ini bukan hanya ajang silaturahmi simbolik, tetapi penanda bahwa semangat persatuan di antara pemuda Indonesia masih menyala.

“Ini adalah pengingat bahwa kita, sebagai anak bangsa dari latar belakang yang berbeda-beda, tetap bisa duduk bersama. Semangat persatuan itu masih menyala,” ujarnya.

Sebagai Dewan Pakar Pemuda Katolik, Marcus menegaskan bahwa ajaran Katolik mengedepankan penghormatan terhadap keberagaman, sebagaimana tertuang dalam dokumen Konsili Vatikan II. Ia juga menekankan pentingnya dialog lintas iman dalam bentuk yang konkret dan berkelanjutan, terutama di kalangan pemuda.

“Ada banyak ragam dan model dialog lintas iman yang bisa dipraktikkan. Misalnya kerja sama dalam aksi sosial seperti kegiatan peduli kasih, donor darah, membersihkan rumah-rumah ibadah, hingga gerakan tanam pohon mangrove,” terang Marcus.

Ia memberi contoh bagaimana Katedral Tanjungkarang mendapat dukungan aktif dari warga sekitar dalam berbagai aksi sosial lintas iman.

Selain itu, menurut Marcus, bentuk dialog lainnya bisa berupa kegiatan intelektual seperti seminar lintas organisasi kepemudaan atau lomba-lomba dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda.

“Untuk generasi pelajar, lawatan atau kunjungan ke pesantren bagi siswa SMA juga bisa menjadi pengalaman yang membuka wawasan kebinekaan,” tambahnya.

Namun Marcus tidak menutup mata terhadap berbagai tantangan yang menghambat terciptanya ruang dialog. Salah satunya adalah sikap mengklaim bahwa agamanya adalah yang paling benar secara mutlak, yang menurutnya bisa menjadi awal dari sikap tertutup dan intoleran.

“Pandangan semacam ini menjadi batu sandungan. Padahal, setiap agama pada dasarnya membawa pesan perdamaian dan kasih,” tegasnya.

Sebagai penutup, Marcus mengajak seluruh elemen bangsa, terutama para pemuka agama dan pemuda, untuk mengambil peran aktif dalam menjaga kerukunan.

“Beberapa dekade terakhir, kita sering mendengar istilah ujaran kebencian, politik identitas, dan hoaks. Tentu ini semua muncul karena sebab. Lalu kita juga mengenal istilah moderasi beragama, yang menurut saya adalah jawaban dan langkah preventif untuk meredam itu semua. Saya kira kita belajar banyak dari serangkaian peristiwa bangsa. Intoleransi akan muncul kapan saja, dan akan terus tumbuh jika terus dibiarkan. Maka mari kita semua—tokoh agama, tokoh pemuda—menjadi aktor dan ambil bagian untuk mendiasporakan semangat toleransi melalui dialog dan praktik langsung menuju terciptanya persaudaraan sejati,” pungkasnya.

Forum ini pun menjadi cermin bahwa kerukunan bukan hanya wacana elite, tapi bisa menjadi gerakan kolektif generasi muda lintas iman—dengan dialog, aksi nyata, dan komitmen bersama.***