KRAKATAU.ID, LAMPUNG SELATAN – Ratusan hektar sawah di Desa Way Gelam, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lampung Selatan, kembali terendam banjir. Bencana alam yang datang berulang kali ini membuat para petani harus menelan pil pahit. Sawah yang telah mereka tanam dengan penuh harapan kini terendam air, memupus impian akan panen yang melimpah.
Antonius Tritekno (43), seorang petani asal Desa Way Gelam, menceritakan kesulitan yang dihadapi dirinya dan petani lainnya. Saat dihubungi Krakatua.id pada Sabtu pagi, 22 Februari 2025, Tekno begitu dia akrab disapa tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
“Banjir sudah berkali-kali, ini yang keenam kalinya. Tiga kali banjir besar,” ujar Antonius dengan nada kesal.
“Hari ini, Sabtu pagi, banjir datang lagi. Air masuk dari arah Sidomulyo, menggenangi sawah kami yang hampir seratus hektar,” kata Tekno sedih.
Bagi petani seperti Tekno, banjir yang datang begitu sering menjadi musibah yang tak pernah habis. Sudah beberapa kali ia menanam padi, namun tak lama setelah itu datang banjir yang menghancurkan semua.
“Saya sudah tanam tiga kali, dan setiap kali terkena banjir, tanaman padi saya busuk,” lanjutnya. “Yang baru saya tanam ini, baru dapat satu petak, eh, sudah keburu datang banjir lagi,” terangnya.
Banjir yang datang kata dia menyebabkan tanaman padi tak dapat bertahan. Bibit yang sudah ditanam menjadi rusak karena terendam air terlalu lama.
“Kalau bibit tidak segera ditanam dan terendam begini, ya rusak. Setelah tiga hari, ya sudah tidak bisa ditanam lagi,” ungkap Tekno.
Ia juga menghitung kerugian yang sudah dikeluarkan, “Untuk bibit saja, per saknya Rp100 ribu, dan lahan setengah hektar bisa lima sak. Itu sudah Rp500 ribu. Kalau sehektar, tinggal dikali saja, jadi banyak sekali,” tutur Tekno.
Menurunya biaya yang dikeluarkan tak hanya untuk bibit, tetapi juga untuk pupuk dan perawatan tanaman.
“Waktu banjir pertama saya belum kasih pupuk, tapi saat banjir kedua saya sudah pupuk padi saya. Uangnya sudah habis banyak. Kalau dihitung, saya sudah mengeluarkan sekitar Rp 5 juta untuk lahan setengah hektar ini,” kata Tekno dengan nada kecewa.
Selain merawat tanaman, selama musim banjir, Tekno harus memperbaiki pematang sawah yang jebol dan menyebar bibit lagi.
“Ya, begitu terus. Nunggu surut banjir, tanam lagi, dan harapannya bisa panen. Tapi ya, kalau airnya datang lagi, ya gagal lagi,” ujarnya.
Bagi Tekno, banjir kali ini adalah yang paling parah. “Selama saya jadi petani di Way Gelam, ini banjir yang paling parah. Biasanya cuma dua kali, tapi kali ini sudah sampai tiga kali,” ujarnya dengan kecewa.
Namun, meski nasib petani terpuruk, Tekno tetap berharap ada solusi dari pemerintah.
“Saya minta pemerintah agar sungai dinormalisasi, dikeruk biar dalam. Sungai-sungai ini sudah dangkal dan penuh sampah, jadi air kiriman dari hulu sulit mengalir dengan cepat.” Kalau sungainya tidak diperbaiki, ya akan terus begini, banjir datang lagi setiap musim hujan,” katanya.
Kini, para petani di Desa Way Gelam hanya bisa menunggu musim gadu—musim bercocok tanam berikutnya—untuk kembali mencoba bertani. Namun, harapan mereka tetap menggebu. Mereka berharap ada perhatian lebih dari pemerintah agar bencana banjir ini tak terus mengancam kehidupan mereka yang bergantung pada sawah.***






