[CERPEN] Hanya Dia Satu-Satunya Wanita yang Memanggilku Ayah. Ya, Dia yang Telah Pergi Itu

Berita, Sastra380 Dilihat

KRAKATAU.ID — Minggu malam, setelah menikmati makan malam sederhana di rumah orangtuaku di Lampung Selatan, aku merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Ketenangan malam membuatku enggan untuk kembali ke rutinitas sebagai perantau. Namun, pagi hari selalu datang dengan tuntutan, dan Senin, 16 Januari 2017, aku harus berangkat menuju Bandar Lampung.

Sekitar pukul 6 pagi, aku mulai berkendara. Hujan rintik-rintik mengiringi perjalananku. Namun, tak lama setelah itu, hujan lebat disertai angin kencang menghalangi setiap upayaku untuk melaju dengan nyaman. Tanpa jas hujan, aku mencari perlindungan. Teras sebuah ruko kosong menjadi tempat berteduhku.

Di teras yang sama, aku melihat beberapa anak sekolah SMA juga berlindung dari hujan. Mereka tampak sama nasibnya denganku. Tak lama berselang, sebuah motor matik datang membawa dua wanita dan seorang anak kecil. Wanita yang memimpin rombongan berpenampilan rapi dengan seragam kerja abu-abu dan hijab biru muda. Mereka pun mencari tempat berteduh.

Wanita itu, dengan hijab birunya, mengingatkanku pada seseorang yang telah pergi jauh dariku. Aku duduk di pojok teras, merenung dalam keheningan hujan. Lamunanku terputus oleh suara kecil yang memanggil, “Ayah… Ayah… Ayah…”

Awalnya, aku mengabaikan suara itu, karena suasana hatiku sedang tidak baik. Namun, suara panggilan anak kecil itu semakin jelas dan mendekat. Akhirnya, aku melihat seorang balita yang berusaha mendekat padaku dengan langkah kecilnya yang sempoyongan. Aku tersentak. Anak itu terus memanggilku “Ayah.”

“Eh.. Dek. Itu bukan Ayah, itu Om,” kata sang ibu dengan nada cemas, wajahnya merah merona. Anak-anak SMA di teras itu, bersama ibu-ibu lainnya, tampak tersenyum geli dan tertawa kecil melihat kejadian itu.

Aku tak bisa menghindar. Dengan penuh basa-basi, aku mengangkat anak itu. Dia tertawa girang, seolah menemukan sosok yang dia cari. Pelukannya hangat dan manja. Mungkin karena dinginnya cuaca, dia tampak nyaman di pelukanku. Ternyata, aku tak bisa menahan air mata yang mengalir di pipiku. Aku menangis dalam diam, bukan karena terharu, tetapi karena panggilan “Ayah” yang mengingatkanku pada seseorang yang sangat berharga.

In Memoriam.

Hanya satu wanita dalam hidupku yang memanggilku “Ayah.” Dia adalah MKW, wanita yang kini telah pergi dari hidupku untuk selamanya. Kenangan itu tetap hidup dalam setiap detik yang kujalani, dan setiap “Ayah” yang ku dengar kembali membuatku mengingat betapa berartinya dia. Dalam setiap hujan yang turun, dalam setiap panggilan kecil yang penuh arti, aku mengenangmu, Mai. Engkau satu-satunya wanita yang pernah memanggilku begitu, dan kenanganmu akan selalu menjadi bagian dari hidupku.***